Tragedi Timnas U-23 Dan Prospek Cerahnya
Tuesday, September 11, 2018
Edit
Timnas Indonesia U-23 harus mendapatkan kenyataan tersingkir dari Asian Games 2018. Cara mereka terlempar pun terbilang tragis.
Dalam duel melawan Uni Emirat Arab, Jumat 24 Agustus 2018, Timnas U-23 sesungguhnya bisa tampil dominan. Mereka bisa menampilkan gaya atraktif dan agresif.
Permainan menyerang dari kaki ke kaki ditampilkan Hansamu Yama Pranata dan kawan-kawan. Sayangnya, aksi mereka tercoreng oleh performa jelek wasit Shaun Robert Evans.
Ya, dalam laga yang digelar di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Evans benar-benar tampil buruk.
Evans kerap salah mengambil keputusan di laga ini. Terfatal ialah ketika Evans memperlihatkan penalti kedua untuk UEA.
Terjadi sebuah insiden di menit 64. Ketika itu, pemain UEA, Shaheen Al-Darmki, terjatuh di kotak penalti.
Sebelum terjatuh, Shaheen berduel dengan Hansamu Yama Pranata. Evans menilai Hansamu telah melaksanakan pelanggaran alasannya ialah menarik baju Shaheen.
Namun, ditinjau dari tayangan ulang, ternyata kontak antara Hansamu dengan Shaheen sangat minim. Dan, tak layak kalau penalti diberikan.
"Di depan kami, ada 'pemain UEA' yang berlaga dengan sangat baik, yakni wasit. Dia memberi dua penalti kepada UEA. Penalti kedua juga tak seharusnya terjadi. Dan, UEA seharusnya menerima kartu merah. Dalam 25 menit terakhir, seharusnya UEA sudah main dengan 10 orang," kecam Milla usai laga.
Milla pun berani menyebut Evans sama sekali tak punya hati. Dia tak tega melihat bawah umur asuhnya yang sudah main dengan begitu luar biasa, harus mendapatkan kenyataan pahit ini.
"Dia kejam. Tapi, sepakbola memang kejam. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan kami, tentu murung dan kecewa. Saya terbawa emosi alasannya ialah bawah umur sudah bekerja keras," jelas Milla.
Bukan cuma Milla. Kiper Timnas U-23, Andritany Ardhiyasa, merasa Evans telah merampok kemenangan dari timnya.
"Di pertandingan malam ini, pertandingan kami dirampok oleh wasit. Kami sudah bermain sangat cantik tapi penalti kedua itu tidak seharusnya terjadi alasannya ialah itu 50:50," kata Andritany.
Nasib Sial Pembunuh Harapan
Sial, cuma itu saja kata yang pantas disematkan kepada Timnas U-23. Pada dasarnya, usaha para pemain Timnas U-23 sudah sangat keras.
Mereka juga bermain dengan luar biasa. Rasanya, bagi Anda suporter, kekalahan dari UEA begitu tak adil.
Dirampok wasit, dicurangi, atau apa itu, niscaya ada di pikiran Anda. Namun, ini sepakbola. Jalannya pertandingan tak melulu ditentukan lewat siapa yang menguasai.
Kadang, keberuntungan jadi faktor penentu. Dan untuk ketika ini, Timnas U-23 tak didampingi oleh Dewi Fortuna.
Sangat disayangkan. Evan Dimas, selaku gelandang andalan Timnas U-23, pun mengakuinya.
Rasa murung menyelimuti ruang ganti Garuda Muda. Atmosfer itu sesungguhnya sudah muncul di atas lapangan.
Usai UEA cetak gol lewat sanksi penalti terakhir, tangis para pemain Timnas U-23 pribadi pecah.
"Begitu lawan cetak gol terakhir, air mata pribadi keluar. Memang belum rezeki, jadi kami begitu sedih," ujar Evan.
Nasib Milla dan Prospek Cerah Indonesia
Hasil di laga ini sesungguhnya menjadi sebuah sinyal, bahwa Indonesia mempunyai kerangka tim untuk bicara lebih banyak pada level internasional. Proses pelatihan yang berkelanjutan dengan diasahnya pemain lewat aktivitas matang, bisa menghasilkan tim yang bagus.
Timnas U-23 kini ialah buktinya. Di bawah aba-aba instruktur Luis Milla Aspas, gaya main mereka menjadi lebih matang.
Bukan hanya soal denah bermain, taktik, strategi, dan problem teknis lainnya. Namun, kondisi mental pemain juga menjadi sorotan bagi Milla.
Sepanjang Asian Games 2018, Timnas U-23 sudah memperlihatkan kecakapan mental dalam level yang tinggi. Lihat saja ketika mereka tertinggal dua kali dari UEA.
Tak sedikit pun ada kepanikan di dalam benak skuat Timnas U-23. Mereka justru konsisten, bermain sabar, hingga jadinya bisa memaksa UEA melanjutkan laga hingga langgar penalti.
Fakta ini tentu jadi prospek cerah bagi Indonesia. Mempertahankan skuat ini untuk menghadapi beberapa ajang di depan, bisa saja berbuah manis. Pun dengan mempertahankan Milla.
Bukan fanatik dengan Milla, tapi kehadirannya memang menjadi pembeda. Para pemain Timnas U-23 pun merasakannya. Evan merasa Milla sudah menjadi sosok pemimpin yang begitu mapan.
Jadi, sudah selayaknya Milla tetap dipertahankan demi menjaga prospek cerah ini. Namun, kontrak Milla hanya hingga Asian Games 2018. Gaji menjadi ganjalan yang begitu besar bagi PSSI demi mempertahankan Milla.
Memang, instruktur sekelas Milla, yang pernah antar Spanyol U-21 juara Piala Eropa, tak murah harganya. Setidaknya, PSSI harus mengeluarkan honor sebesar Rp2 miliar per bulan untuk Milla dan asistennya.
Pembinaan memang mahal. Sepakbola ketika ini selalu bicara soal uang, tak bisa dilepaskan.
"Saya pribadi, mau Luis Milla (dipertahankan). Dia instruktur cantik dan pintar. Semua kembali lagi ke PSSI," kata Evan.
Dukungan untuk mempertahankan Milla, muncul juga dari pemain lain. Irfan Jaya ialah salah satunya.
Irfan merasa Milla bukan cuma sosok yang bakir dalam urusan teknis. Tapi, Milla mengerti bagaimana kondisi pemainnya.
"Pelatih yang baik bagi semua pemain di tim ini," jelas pemain Persebaya Surabaya tersebut.
Menembus semifinal Asian Games, sasaran yang terlalu tinggi bagi tim ini. Namun, kalau bicara Piala AFF 2018, bisa saja direbut trofinya, andai tim ini yang dipakai.